Kamis, 24 Desember 2015

LEARN MANNERS BEFORE LEARNING KNOWLEDGE



Setuju sekaleee dengan ungkapan itu. Seolah menegaskan ungkapan (lainnya) “baik untuk menjadi orang penting, namun lebih penting menjadi orang baik”. Sebenarnya, keduanya punya standard masing-masing, butuh efforts yang lebih, ada yang harus dikorbankan, dan merupakan pilihan. Kita bahas bentar yuks!

Pertama, standard yang dimaksudkan ialah sudut pandang (jadi inget istilah point of view yang selalu didengungkan Prof. Herman J. Waluyo sewaktu kuliah duluuu, hiehie). Sudut pandang itu penilaian merdeka dari tiap kita. Sudut pandang seseorang memaknai ‘orang penting’ dan ‘orang baik’ tentu sangat berbeda-beda. Sama halnya orang punya standard masing-masing untuk menyatakan hakikat: kebahagiaan, kesuksesan, kesederhanaan, dtt (dan teman-temannya, wkwk). So, ada baiknya tidak pakai standard orang lain. Konstruk standard pribadi, kemudian taat dan patuhi!

Kedua, upaya untuk jadi orang penting (duh, ini perkiraan w/ logika lho ya, ga bisa share pengalaman karena belum pernah jadi orang penting, haha) itu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Baik dan buruk. Sebelum lebih jauh, perlu saya jelaskan bahwa asumsi ‘orang penting’ bagi saya ialah orang yang punya kuasa dalam konteks apapun itu. Menurut saya, cara baik dilakukan dengan “memantaskan diri” untuk mendapat amanah itu alias pakai “jalur depan”. Tentu saja include kemauan dan kesiapan. Adapun cara buruk, misal “menjilat” (ihh kayak gukguk, weks!), memprovokasi, caper dan “teman seperjuangannya” yaitu carmuk (hahaha… tipe ini nggak bersyukur banget ya, lha wong ngerewat muka 1 aja kadang muncul jerawat kok masih saja usaha cari muka, weks!). Intinya jangan cuma karena nekat dan ‘dekat’. Ada baiknya karena kompetensi pun telah teruji.

Ketiga, jelas ada yang harus dikorbankan. Salah satunya adalah korban perasaan, haha. Cara baik pun yang buruk akan mengundang reaksi. Wujudnya beragam. Sekadar komentar? Lah, itupun ada yang komentar sopan penuh pujian atau komentar nyinyir berbau anyir. Asal bisa ‘menelan’ dengan baik, menyikapi dengan bijak, dan lapang hati bila ada yang kurang berkenan di hati, no problem!
Keempat, setiap pilihan punya resiko. Hanya saja, yang terbijak ialah memilih yang resikonya paling kecil atau yang sekiranya mampu ditanggung ybs. Hati sering butuh kepastian dalam waktu yang relatif cepat. Yen wani ojo njejirihi, yen jirih ojo nganti kewanen!

Oleh karenanya, sekeren apapun profesi seseorang, setinggi apapun puncak karier seseorang, sekaya apapun kehidupan seseorang, dtt (hehe) betapa manners akan pegang poin penuh! Memaknai tata krama ini bukan masalah nunduk-nunduk pada atasan, ngomong sopan dengan salam buatan, atau ngikik pelan karena takut dikira berangasan. No, lebih dari itu. Lebih dalam hati. Manners-nya lebih pada legawa menerima kritikan, sopan dalam memberikan tanggapan, menyampaikan kritikan, mengevaluasi keadaan, paham dan SADAR akan posisi – tahu sedang dalam posisi berhak dilayani atau sedang dalam posisi melayani, berbesar hati memberi dan menerima maaf, diam bila berbicara itu tak guna apalagi berpotensi ‘kemana-mana’, dtt. Ini sikap yang gampang sih, namun bukan gampangan. Seriously!

Dari situ, baru sadar mengapa character education begitu dikedepankan kini. Seolah nunjuk seseorang sambil dicecar pertanyaan: “mana karakter elu?”. Kalau jawabannya: “ini lho gue pinter!”, “heih, gue guru besar mamennnn!”, “gue yang nulis buku ini itu lho!”, “gue yang njabat di sono noh!”. Haishhhh, itu bukan karakter melainkan prestasi/pencapaian. Karakter terhadap hal itu? Bisa berupa menghargai prestasi diri dan orang lain, jujur atas proses pencapaian itu, bertanggung jawab atas amanah yang diberikan, dtt. So, mengiringi penguasaan pengetahuan dengan penguasaan tata krama? Ahh… betapa indahnya.

GS A/3 – 02.39 WIB
*(terus) belajar ‘lapang’!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KULIAH PAKAR ADOBSI